KH Shiddiq al-Jawi adalah Mudir (Ketua) Ma’had Hamfara Yogyakarta. Di antara para ulama HTI, beliau dikenal karena spesialisasinya untuk membahas fatwa-fatwa kontemporer yang berkenaan dengan kondisi saat ini.
KH Shiddiq al-Jawi adalah seorang penulis produktif dan tentu saja seorang aktivis dakwah. Beliau telah menulis ratusan artikel keislaman, menulis 6 buku, berkontribusi sebagai penulis dalam 2 buku, menerjemahkan 12 kitab berbahasa Arab, menerjemahkan 1 film dokumenter berbahasa Arab, menyunting 10 buku, dan menjadi editor ahli untuk 4 video dakwah.
Ia meneruskan mengaji Alquran dan tajwid di bawah bimbingan Kyai Irfan (alm), di Masjid Mushollin, Podosugih, Pekalongan setiap ba’da subuh. Pada ba’da Isya, ia belajar ilmu-ilmu keislaman (bahasa Arab, tajwid, membaca Alquran, dll) di sebuah majelis taklim yang diasuh oleh Ustadz Bunyamin, di Podosugih.
Mengenal HT
Setelah lulus SMA 1 Pekalongan pada tahun 1988, ia masuk IPB tanpa test (PMDK). Pada tahun 1989, ia mulai aktif di Badan Kerohanian Islam (BKI) IPB, sebuah organisasi keislaman dan kemahasiswaan intra kampus. Ia menjadi staf Departemen Tabligh yang tugasnya mengorganisasi kajian keislaman mingguan di Masjid Al Ghifari IPB.
Awal masuk BKI, ia langsung mengikuti kajian Kitab Al Fikr Al Islami karya Syeikh Muhammad Muhammad Ismail, seorang aktivis Hizbut Tahrir. Beliau sangat terkesan oleh kedalaman isi kitab yang membahas Islam sebagai sebuah sistem yang sempurna, tidak hanya sebagai sistem sosial dan ibadah tapi juga sistem politik, sistem ekonomi, dan banyak lagi. Berbekal kitab ini, akhirnya beliau aktif juga mengaji di HTI.
Memperdalam Agama
Setelah menerima ideologi Islam yang dibawa HTI, semangat keislaman Shiddiq muda semakin membara. Beliau bertekad untuk mengabdikan hidupnya demi Dakwah Islam. “Akhirnya saya mendalami Islam di pesantren Nurul Imdad dan Al Azhar, Bogor,” ungkapnya. Sejak saat itu, ia bertekad menjadi seorang mujtahid.
Untuk mencapai mimpinya, selain mengikuti kajian Kitab Al Fikr Al Islam, Kyai Shiddiq juga nyantri di Pondok Pesantren Nurul Imdad (1989-1991) di bawah bimbingan KH Ahmad Zaini Dahlan, yang merupakan salah satu murid KH Abdullah bin Nuh, ulama besar pendiri Islamic Centre Imam Ghazali, Kotaparis, Bogor. Di bawah bimbingannya ia mengaji kitab Tafsir Al-Jalalain karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi dan Jalaluddin Al-Mahalli dan beberapa kitab hadis, yaitu Jawahirul Bukhorikarya Imam Qasthalani, Mukhtarul Ahadits, dan Al-Jami’ Ash-Shaghir karya Imam Suyuthi.
Sejak 1992 hingga 1998, ia menamatkan kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz 1 (Akidah dan tsaqafah Islam) dan Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz 2 (Fiqih Siyasah dan Fiqih Muamalah), juga mengaji sebagian kitab Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah Juz 3 (Ushul Fiqih) dan sebagian kitab An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam (tentang Ekonomi Islam). Semua kitab tersebut karya Imam Taqiyuddin An-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir.
Di waktu yang sama, ia nyantri di Pondok Pesantren Al-Azhar, Bogor (1992-1994) di bawah bimbingan KH Abbas Aula, Lc dan mempelajari kitab Al-Firqatun Najiyah karya Syaikh Muhammad Jamil Zainu, Tafsir Ibnu Abbas, fiqih dakwah, dan nahwu sharaf.
Kyai Shiddiq pun belajar percakapan bahasa Arab (muhadatsah) dengan Ustadz Qomaruddin Sa’dullah, dengan pegangan kitab Al Arabiyyah lin Nasyi`in. Dari KH Tubagus Hasan Basri, beliau belajar kitab At-Tibyan fi Ulumil Qur`an karya Muhammad Ali Ash-Shabuni.
Dengan Ustadz Abdul Hanan, Lc yang lulusan Universitas Islam Madinah, beliau mempelajari kitab Taisir Mustholah Hadits karya Mahmud Thohhan dalam ilmu hadis, kitab Rawa’iul Bayan fi Tafsir Ayatil Ahkam karya Muhammad Ali Ash-Shabuni dalam bidang tafsir ayat ahkam, dan kitab Subulus Salam karya Imam Shan’ani dalam bidang hadis hukum.
Titip Salam Untuk Sang Khalifah
KH Shiddiq adalah salah satu di antara segelintir tokoh pelopor berdirinya HTI. Beliau menyaksikan secara langsung perkembangan HTI yang bermula dari halaqah 20 orang hingga kini menyebar ke seluruh Indonesia. Beliau berharap besar masih diperkenankan Allah untuk menjadi saksi bagi tahapan ketiga dakwah HT, yaitu tegaknya Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj Nubuwwah yang kedua.
Saking besarnya kerinduan beliau akan kehadiran seorang khalifah sehingga beliau menitipkan salam seandainya tidak sempat mengalami masa kekhalifahan tersebut. “Maka, ketika nanti Khilafah berdiri dan saya sudah lebih dulu dipanggil oleh Allah Subhanahu wa ta'ala, tolong titip salam buat Khalifah… Sampaikan salam paling hangat dari saya, seorang syabab yang sederhana namun bercita-cita tinggi, seorang hamba Allah yang faqir, yang pernah berkontribusi walau sedikit buat berdirinya Khilafah.”
Barakkallahu ya kyai. Semoga Allah memberi Anda dan kami umur untuk menjalani masa kekhalifahan yang kedua. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar