Tampilkan postingan dengan label Soal-Jawab. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Soal-Jawab. Tampilkan semua postingan

Senin, 26 Maret 2018

Hukum Dropship dalam Islam

Hukum Dropship dalam Islam

TanyaUstadz, mohon dijelaskan hukum menjadi drop­shiper? Ummu Kultsum, Jakarta)

JawabDropshipper adalah orang yang melakukan jual beli dengan sistem dropshiping, yaitu sistem jual beli yang memungkinkan dropshipper menjual barang secara lang­sung dari supplier/toko tanpa harus menstok/membeli barangnya terlebih dulu.

Mekanismenya: Dropshipper menawarkan barangnya (biasanya secara online) kepada pembeli, bermodalkan foto barang dari supplier/toko, disertai deskripsi barang tersebut, dengan harga yang ditentukan oleh dropshipper sendiri. Setelah ada kesepa­katan, pembeli mentransfer uang ke rekening dropshipper, lalu dropshipper membayar kepada supplier sesuai dengan harga beli dropshipper (ditambah dengan ongkos kirim ke pemheli) dengan memberikan data-data pembeli (utama, alamat, nomor ponsel) kepada supplier. Barang yang dipesan oleh dropshipperdikirim oleh supplier langsung ke pembeli, dengan nama pengirim tetap atas nama dropshipper, bukan atas nama supplier. Jadi, intinya ada tiga pihak dalam dropshippingdropshipper, supplier, dan pembeli.

Secara umum, model kerja sama antara dropshipper dan supplier/toko ada dua model: Pertamasupplier mem­berikan harga ke dropshipper, lalu dropshipper menjual barang dengan harga yang ditetapkannya sendiri, dengan memasukkan keuntungan dropshipperKedua, harga sejak awal sudah ditetapkan oleh supplier, termasuk besaran fee untuk dropshipper bagi setiap barang yang terjual.

Hukum syariah untuk aktivitas dropshippng di atas menurut kami sbb:

Pertama, dropshiping model pertama, yaitu drop­shipper berlaku sebagai penjual karena menetapkan harga sendiri, hukumnya boleh selama memenuhi segala syarat jual beli salam (bai’ assalam). Jadi disini diterapkan hukum bolehnya jual beli salam (bai’assalam) antara dropshipper dan pembeli. Selama memenuhi syarat-syarat jual beli salam, transaksi sebagai dropshipper adalah sah secara syar’i.

Jual beli salam adalah jual beli pada barang yang belum dimiliki penjual pada saat akad dengan pembayaran uang didepan sedang barang diserahkan belakangan. Dalil bolehnya bai’assalam antara lain riwayat Ibnu Abbas RA bahwa, “Nabi SAW datang ke Madinah sedang mereka (orang orang Madinah) melakukan salaf (jual beli salam) pada buah-buahan untuk jangka waktu satu atau dua tahun.’ (HR Muslim). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakh­shiyyah,21293).

Jika pembeli membayar harga di depan secara keseluruhan kepada dropshipper, jual bellnya sah. Adapun jika harga dibayar belakangan (setelah barang diterima), atau dibayar dengan sebagian harga atau dibayar dengan sistem DP (uang muka), jual belinya tak sah. (Yusuf As Sabatin.A1Buyu’AlQadimoh wa A1Mua’shirah,hlm.48).

Namun perlu diketahui, jenis barang yang boleh dijualbelikan dalam jual beli salam bukanlah semua macam barang, melainkan barang barang tertentu, yaitu barang yang ditimbang (al makill), ditakar (almauzun), dan dihitung (al ma’duud), semisal bahan-bahan pangan, seperti beras, gula, dsb. Adapun barang-barang yang tak ditimbang, ditakar dan dihitung, seperti tanah, rumah, dan mobil, tak boleh dijualbelikan secara jual beli salam (bai’as salam), melainkan dengan jual beli kontan (cash and carry), atau jual beli kredit (bai’ad dain) yaitu barang diserahkan didepan, uang dibayar belakangan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, 2/293: Yusuf As Sabatin, Al Buyu’ Al Qodimah wal AL Mu’ashirah, hlm.57).

Kedua, dropshiping model kedua, yaitu dropshipper tak berlaku sebagai penjual karena tak menetapkan harga sendiri, hukumnya boleh selama memenuhi segala syarat akad samsarah (perantara jual beli), yang memang di­bolehkan syariah (Yusuf Qaradhawi, Al Halal wal Haram fil Simsar hlm.226). Jadi di sini dropshipper adalah seorang simsar (perantar) antara penjual dengan supliyer/toko. Implikasinya, barang yang dikirim wajib diatas namakan supplier, tidak boleh diatasnamakan dropshipper. Demikian pula dropshipper tak boleh mencari perantara lagi (kadang disebur reseller, karena ini bertentangan dengan hukum samsarah. 

Wallahu ’alam.[]

Jawaban oleh: 
Al-Ustadz KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi Hafizhahullahu ta'alaa
(Dosen STEI Hamfara, Pengasuh Ma'had Taqiyyuddin An-Nabhani Yogyakarta)

Sumber: Tabloid Media Umat I Edisi 102,24 Jumadil Awal – 7 Jumadil Akhir 1434 H/5 – 18 April 2013

0

Hukum Membuat Meme dalam Islam






Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan hukum syariah membuat meme? (Farid Ma’ruf, Bantul)
Jawab :
Meme (dibaca mim bukan dibaca me-me) adalah gabungan gambar dengan teks yang tujuannya untuk mengekspresikan suatu gagasan, perasaan, atau perilaku (tindakan) tertentu. Meme biasanya disebarkan di media massa seperti internet dan media sosial (medsos) seperti WA, Instagram, dsb. Gambar dalam meme tersebut dapat berupa foto orang, gambar di TV, gambar dari film, kartun, dan sebagainya. Teks yang ada dapat berupa pernyataan yang dinisbatkan kepada gambar tokoh yang ada, baik pernyataan itu memang ucapan tokoh itu maupun tidak. Contohnya meme gambar Presiden Soeharto yang sedang melambaikan tangan disertai tulisan,”Piye kabare? Penak jamanku to?” (Bagaimana kabarnya, masih enak jaman saya bukan?). Dapat pula teks yang ada bukan pernyataan dari gambar tokoh yang ada, tetapi sekedar gagasan (pesan) yang terkait dengan gambar. Contohnya meme gambar seorang tokoh yang telah meninggal dunia, lalu diberi teks,”Selamat jalan.”

Inilah sekilas fakta (manath) tentang meme. Bolehkah seorang muslim membuat meme seperti itu? Hukum asalnya adalah boleh (mubah) membuat meme jika meme yang dibuat memenuhi 3 (tiga) syarat sbb: pertama, tujuan pembuatan meme haruslah tujuan yang dibolehkan syariah, misalnya bertujuan untuk mendakwahkan Islam atau mengajarkan hukum syara’. Contonya gambar (foto) seorang anak yang sedang berwudhu disertai teks yang menjelaskan tata cara berwudhu. Atau misalnya foto jamaah haji yang sedang thawaf mengelilingi Ka’bah, lalu disertai teks yang isinya bicara tentang ibadah haji. Adapun jika tujuan pembuatan meme bertentangan dengan hukum syara’, misalnya untuk menghina orang lain, untuk mem-bully seseorang, untuk menipu, untuk menyebarkan pornografi, LGBT, perjudian narkoba, dan sebagainya, maka hukumnya haram. Demikian pula haram hukumnya membuat meme yang bertujuan mempromosikan akad-akad muamalah yang haram, seperti bank, asuransi, pegadaian, dan sebagainya. Haram pula membuat meme yang mempropagandakan ide-ide non-Islam seperti kapitalisme, liberalisme, demokrasi, nasionalisme, komunisme, marxisme, dan sebagainya.

Dalil syarat pertama adalah kaidah fiqih yang menetapkan :
اَلْوَسَائِلُ تَتَبِعُ الْمَقَاصِدَ فِيْ أَحْكَامِهَا
“Al Wasa`il tattabi’u al maqashid fi ahkamihaa”. (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Juz XII, hlm. 99). Kaidah ini menerangkan bahwa hukum untuk wasilah (jalan/perantaraan) itu sama dengan hukum untuk tujuan. Kaidah ini dapat diterapkan untuk pembuatan meme, karena meme sekedar sarana untuk mencapai tujuan, maka hukum meme bergantung pada tujuannya.
Kedua, gambar yang digunakan dalam meme haruslah gambar sesuai dengan syariah. Jadi tidak boleh membuat meme dengan gambar yang tidak sesuai dengan syariah, misalnya foto seorang perempuan yang tidak menutup aurat. Atau gambarnya berupa gambar makhluk bernyawa seperti manusia atau binatang yang dibuat sendiri oleh pembuat meme. Atau gambarnya berupa foto seseorang yang sudah diedit sedemikiran rupa yang mengubah objek dari kondisi aslinya, misalnya menghilangkan jenggotnya atau menghilangkan tahi lalatnya.

Dalil syarat kedua adalah kaidah fiqih yang menetapkan :
اَلْأَصْلُ فْي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَحْرِيْمِ
“Al Ashlu fi al asy-ya` al ibahah maa lam yarid dalil at tahrim.” (Hukum asal benda [materi] adalah boleh selama tidak terdapat dalil yang mengharamkan). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz III hlm. 26). Kaidah ini dapat diterapkan untuk pemanfaatan benda (gambar) yang sudah ada, misalnya yang sudah ada di dunia maya atau yang sudah dimiliki oleh pembuat meme. Maka pemanfaatan gambar dalam pembuatan meme hukum asalnya boleh, karena gambar yang sudah ada dapat digolongkan sebagai al asy-ya (benda/materi) yang hukum asalnya mubah, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkan, misalnya memanfaatkan gambar editan yang mengubah objek aslinya.
Ketiga, teks yang digunakan dalam meme haruslah sesuai dengan syariah. Misalnya teks yang ada memang ucapan dari tokoh yang gambarnya terdapat dalam meme. Jika teks yang ada bukan ucapan tokoh dalam meme tersebut, maka hukumnya haram, karena hal ini termasuk dalam kebohongan (al kadzib) atau penipuan/manipulasi (al ghisy). Padahal setiap kebohongan atau kecurangan/manipulasi haram hukumnya.
Dalil syarat ketiga adalah dalil-dalil umum yang mengharamkan kebohongan dan penipuan/manipulasi. Misalnya sabda Nabi SAW
وَمَنْ غَشَنَا فَلَيْسَ مِنَا
”Wa man ghasysyana falaysa minna” (Barang siapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR Muslim, no 101).

 Wallahu a’lam.


Jawaban oleh: 
Al-Ustadz KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi Hafizhahullahu ta'alaa
(Dosen STEI Hamfara, Pengasuh Ma'had Taqiyyuddin An-Nabhani Yogyakarta)

0

Selasa, 17 Oktober 2017

Hukum Al-Qur'an Seluler

Pertanyaan :

Ustadz, bagaimana hukum perlakuan terhadap Alquran seluler, apakah sama dengan mushaf Alquran dari kertas?

Jawaban :

Alquran seluler adalah program Alquran dalam memori telepon seluler yang dapat diaktifkan sehingga dapat dibaca dan/atau dapat pula mengeluarkan rekaman suara seorang Qari yang membacakan ayat-ayatnya.

Hukum seputar Alquran seluler ini termasuk masalah baru, sehingga pembahasan fiqihnya tak dapat ditemukan secara langsung dalam kitab-kitab ulumul Quran klasik, seperti Al Mashahif karya Imam Sijistani (w. 316 H), At Tibyan fi Adab Hamalatil Quran karya Imam Nawawi (w. 676 H), Al Burhan fi Ulumil Quran karya Imam Zarkasyi (w. 794 H), dan Al Itqan fi Ulumil Quran karya Imam Suyuthi (w. 911 H). Bahkan pembahasannya juga belum disinggung dalam kitab-kitab ulumul Quran kontemporer, seperti Faidhur Rahman fi Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Khaashah bil Quran karya Ahmad Saalim Malham (2001), Ar Ruuh wa Ar Raihan fi Fadhail wa Ahkam Al Mashahif wa Al Quran karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim (2003), dan Al Mut-haf fi Ahkam Al Mushaf karya Shalih Muhammad Rasyid (2003).

Namun belakangan beberapa ulama kontemporer mencoba membahasnya, seperti Abdul Aziz Hajilan dalam kitabnya Al Ahkam Al Fiqhiyyah Al Khaashah bil Quran (2004) dan Fahad Abdurrahman Yahya dalam kitabnya Takhzin Al Quran Al Karim fi Al Jawwaal wa Maa Yata’alaqu bihi min Masail Fiqhiyyah (2010). Metode pembahasannya sebenarnya bukan ijtihad atau qiyas, melainkan apa yang disebut dengan “takhrij al furuu’ ala al ushuul” (mengeluarkan hukum cabang dari hukum pokok), atau “tathbiq al hukm ‘ala al masail allaty tandariju tahtahu” (menerapkan hukum yang sudah ada, pada masalah-masalah baru yang merupakan derivat/turunan dari hukum yang sudah ada). (Lihat: Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 1/203-205).

Di antara hukum syara’ terkait Alquran seluler dalam kitab-kitab tersebut sebagai berikut:

Pertama, kapan program Alquran seluler dihukumi sebagai mushaf Alquran? Fahad Abdurrahman Yahya mengatakan program Alquran seluler yang non aktif, dianggap sama dengan mushaf Alquran yang masih tertutup (tak dibuka). Maka program non aktif tersebut tak dihukumi sebagai mushaf Alquran, sehingga tak disyaratkan bersuci (thaharah ) dari hadats besar atau hadats kecil bagi Muslim yang menyentuh ponsel dengan program tersebut. Dalam hal ini para ulama kontemporer tak ada perbedaan pendapat. (Lihat: Fahad Abdurrahman Yahya, Takhzin Al Quran Al Karim fi Al Jawwaal , hlm. 47).

Adapun jika program Alquran selulernya dalam keadaan aktif, yaitu ketika tampak gambar ayat Alquran dalam layar ponsel, maka ia dianggap sama dengan mushaf Alquran yang lembarannya sudah dibuka. Maka dari itu, program aktif tersebut dihukumi sama dengan mushaf Alquran. Di sinilah kemudian diberlakukan hukum-hukum syara’ seputar mushaf Alquran, misalnya hukum menyentuh mushaf, hukum membawa mushaf ke dalam toilet (al khala ), dsb. (Lihat: Fahad Abdurrahman Yahya, Takhzin Al Quran Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 47).

Kedua, jika program Alquran selulernya dalam keadaan aktif, apakah disyaratkan thaharah bagi Muslim yang menyentuh ponsel dengan program itu? Di sini ada tafshil (rincian) hukumnya; jika yang disentuh bukan layar monitornya, tapi bagian perangkat ponsel lainnya, seperti tepian layar monitor atau tombol-tombol huruf pada keypad , tidak disyaratkan thaharah . Sebab dapat diterapkan di sini hukum tak wajibnya thaharah jika seorang Muslim menyentuh mushaf dengan penghalang (hail) seperti tali gantungan atau kulit/cover mushaf, atau jika menyentuh kitab tafsir Alquran yang mengandung ayat dan tafsirnya.

Adapun jika yang disentuh adalah layar monitornya secara langsung (misal pada layar touchscreen), disyaratkan wajib thaharah . Sebab di sini diterapkan hukum wajibnya thaharah bagi yang menyentuh mushaf secara langsung (tanpa penghalang). (Lihat: Fahad Abdurrahman Yahya, Takhzin Al Quran Al Karim fi Al Jawwaal, hlm. 92). 

Wallahu a’lam


Jawaban oleh: 
Al-Ustadz KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi Hafizhahullahu ta'alaa
(Dosen STEI Hamfara, Pengasuh Ma'had Taqiyyuddin An-Nabhani Yogyakarta)
0

Kamis, 05 Oktober 2017

Aqiqah dulu atau Qurban ?



Pertanyaan:

Assalamu'alaikum ustadz

Saya ingin bertanya. Manakah lebih utama, aqiqah atau ber qurban? Apakah boleh kita ber qurban dahulu sedangkan kita sejak kecil belum di aqiqahkan?

Jawaban:

Terkait dengan hukum berkurban sementara kita belum aqiqah maka perlu dikembalikan hukum aqiqah itu sendiri. Aqiqah adalah menyembelih kambing sbg rasa syukur atas kelahiran anak yang baru lahir. Satu kambing untuk anak bayi perempuan & 2 kambing utk anak laki2. Aqiqah merupakan bagian dari sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sebab beliau mengamalkannya ketika cucunya lahir yakni Hasan & Husain radhiyallahu 'anhuma.

Para ulama menghukumi aqiqah kepada 3 pendapat : ada yang berpendapat wajibsunat muakadah (yang ditekankan) &  sunat bagi yang mampu. Aqiqah dilaksanakan pada hari ke-17, 14 & 21 dari kelahiran anak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

    كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّيكُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تَذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى

Artinya :
Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama” [HR Abu Dawud, no. 2838, at-Tirmidzi no. 1522).

Bila tidak mampu pada saat itu maka para ulama ikhtilaf apakah masih berlaku aqiqah ketika sudah dewasa atau status perintahnya hilang setelah hari ke-21. 
  • Ulama mazhab Malikiyah berpendapat bahwa aqiqah jadi gugur jika luput dari hari ketujuh.
  • Ulama mazhab Hambali berpendapat bahwa jika luput dari hari ketujuh, aqiqah dilaksanakan pada hari ke-14, jika tidak pada hari ke-21.
  • Sedangkan ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa aqiqah masih jadi tanggung jawab ayah hingga waktu si anak baligh. Jika sudah dewasa, aqiqah jadi gugur. Namun anak punya pilihan untuk mengaqiqahi diri sendiri. (Ref : Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 30: 279).

Jadi dengan demikian kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bila kita mengikuti pendapat ulama mazhab Maliki & Hambali gugur perintah pelaksanaan aqiqah & dapat mengerjakan ibadah qurban. Dengan dalil  perintah qurban Allah SWT berfirman,
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ  فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ

Artinya :
“Sesungguhnya Kami telah memberikan karunia sangat banyak kepadamu maka sholatlah untuk Tuhanmu  & sembelihlah kurban” (QS.Al-Kautsar:1-3).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَ لَهُ سَعَةٌ وَلَمْ يُضَحِّ فَلا يَقْرَبَنَّ مُصَلا نا

Artinya :
Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” (HR. Ahmad).

Sementara bagi yang mengikuti pendapat ulama mazhab Syafi'i bila hingga belum dewasa belum beraqiqah maka hendaknya ia berkurban dahulu sebab hukum asal aqiqah adalah tanggung jawab kedua orang tuanya.

Wallahu a'lam



Jawaban oleh: 
Al-Ustadz Tommy Abdillah Hafizhahullahu ta'alaa
(Muballigh Batam, Kep.Riau)
0

Rabu, 04 Oktober 2017

Bolehkah rekreasi bersama non-mahram ?



Pertanyaan:

Assalamu'alaikum ustadz.

Mau tanya. Bolehkah kita ikut dalam acara rekreasi teman2 kerja ke pantai sementara diantara yang ikut ada yang perempuan tidak bawa mahramnya??

Jawaban:

Wa 'alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh, 

Hukum asal rekreasi atau tadabur 'alam adalah mubah selama tidak ada aktivitas yang diharamkan. Bila rekreasi bukan dengan keluarga yang terkategori mahram maka akan terjadi ikhtilath, sedangkan hukum ikhtilath tanpa ada uzur syar'i adalah haram.

Sebaiknya dihindari ikut rekreasi bila ikhtilath kecuali dapat menjamin tidak ada interaksi langsung dengan akhwat. Contoh : selama perjalanan yang ikhwan dengan ikhwan & tidur dengan sesama kelompok teman ikhwan.

Wallahu a'lam



Jawaban oleh: 
Al-Ustadz Tommy Abdillah Hafizhahullahu ta'alaa
(Muballigh Batam, Kep.Riau)
0

Selasa, 03 Oktober 2017

Kapankah Waktu yang tepat untuk sholat Dhuha dan Sholat Tahajjud?



Pertanyaan:

1. Waktu shalat duha itu rentang waktunya bagaimana??

2. Pelaksanaan shalat Tahajud seperti apa? Bolehkah kita Tahajud sebelum tidur?


Jawaban:

1. Terkait dengan batasan waktu shalat dhuha diawal setelah matahari naik setinggi 7 tombak yaitu sekitar pkl 07.00 Wib dimana matahari tlh melewati batasan syuruq yaitu fajar yg terang benderang. Kemudian utk batasan akhir shalat dhuha adalah pada saat matahari panas terik mendekati posisi dzawal yaitu ketika matahari berada diatas kepala. Kisaran waktunya sekitar jam 11.

Bila kita tetap mengerjakannya maka masuk ke dalam perkara mengerjakan ibadah shalat pada waktu yg terlarang. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:


ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ n يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ

Artinya : “Ada tiga waktu di mana Nabi SAW melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami, yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur & di barat) sampai matahari tergelincir & ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.”(HR.Muslim no. 1926).

2. Adapun terkait dengan shalat tahajud seafdhal-nya dikerjakan sepertiga malam, hal ini didasarkan pada firman Allah Subhanahu wata'ala :

وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا

Artinya : "Dan pada sebahagian malam hari  tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yg Terpuji."(QS.Al-Isra:79).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

أَحَبُّ الصَّلاَةِ إِلَى اللهِ صَلاَةُ دَاوُدَ، وَأَحَبُّ الصِّيَامِ إِلَى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ: كاَنَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُوْمُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ، وَيَصُوْمُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا.

Artinya : "Shalat yg paling dicintai Allah adalah shalat Nabi Dawud Alaihissallam dan puasa yang paling dicintai Allah juga puasa Nabi Dawud Alaihissallam. Beliau tidur setengah malam, bangun sepertiga malam dan tidur lagi seperenam malam serta berpuasa sehari dan berbuka sehari."(HR.Bukhari).

Adapun melaksanakan shalat tahajud pada saat sebelum tidur diperbolehkan, bila khawatir tdk bangun disepertiga malam. Hal ini didasarkan pada perbuatan yang terkadang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan shalat witir sebelum tidur.

 Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ ثُمَّ لْيَرْقُدْ وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ

Artinya : “Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia witir dan baru kemudian tidur. Dan siapa yang yakin akan terbangun di akhir malam, hendaklah ia witir di akhir malam, karena bacaan di akhir malam dihadiri (oleh para Malaikat) dan hal itu adalah lebih utama.” (HR. Muslim no. 755).

Jadi dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa shalat sunnah tahajud boleh dikerjakan sebelum tidur ditutup dengan shalat witir, akan tetapi keafdhal-annya dilakukan sepertiga malam atau dipenghujung malam sebelum masuk waktu subuh.

Wallahu a'lam



Jawaban oleh: 
Al-Ustadz Tommy Abdillah Hafizhahullahu ta'alaa
(Muballigh Batam, Kep.Riau)
0

Senin, 02 Oktober 2017

Siapa Sajakah Nama-Nama ke-12 Khalifah yang Berasal dari Suku Quraisy ?


Pertanyaan:

Saya pernah mendengar bahwa ada sekitar 12 Khalifah yang berasal dari suku Quraisy, siapa sajakah ke-12 Khalifah yg disebutkan dari kalangan Quraisy itu?? Darimanakah sumbernya?

Syukron atas jawabannya


Jawaban:

Al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi asy-Syafi'i :

وعلى هذا فقد وجد من الاثني عشر خليفة الخلفاء الأربعة، والحسن، ومعاوية، وابن الزبير، وعمر بن عبد العزيز، هؤلاء ثمانية، ويحتمل أن يضم إليهم المهتدى من العباسيين؛ لأنه فيهم كعمر بن عبد العزيز في بني أمية، وكذلك الظاهر لما أوتيه من العدل، وبقي الاثنان المنتظران أحدهما المهدي؛ لأنه من آل بيت محمد صلى الله عليه وسلم.

"Dari 12 khalifah yang merupakan keturunan Quraisy itu ialah 1-4. Khulafa' Rasyidun, 5. Hasan, 6. Mu'awiyah, 7. Ibn Zubayr, 8. Umar bin Abdil Aziz, dan kemungkinan 9. Al Muhtadi dari 'abbasiyyah karena seperti 'umar bin 'abdil aziz dan 10. Al Zhahir karena keadilan, sedang dua sisanya sedang dalam penantian, salah satunya al Mahdi, karena ia tergolong keturunan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi Wasallam"
(Sumber: Kitab Taarikh al-Khulafa')



Jawaban oleh:
 Al-Mukarram Al-Ustadz Hafid 'Abdul Qadir  Hafizhahullahu ta'alaa 
(Pengasuh Majelis Thullab Al-'Ilmi Batam, Kep.Riau)
0