Senin, 26 Maret 2018

Hukum Dropship dalam Islam

Hukum Dropship dalam Islam

TanyaUstadz, mohon dijelaskan hukum menjadi drop­shiper? Ummu Kultsum, Jakarta)

JawabDropshipper adalah orang yang melakukan jual beli dengan sistem dropshiping, yaitu sistem jual beli yang memungkinkan dropshipper menjual barang secara lang­sung dari supplier/toko tanpa harus menstok/membeli barangnya terlebih dulu.

Mekanismenya: Dropshipper menawarkan barangnya (biasanya secara online) kepada pembeli, bermodalkan foto barang dari supplier/toko, disertai deskripsi barang tersebut, dengan harga yang ditentukan oleh dropshipper sendiri. Setelah ada kesepa­katan, pembeli mentransfer uang ke rekening dropshipper, lalu dropshipper membayar kepada supplier sesuai dengan harga beli dropshipper (ditambah dengan ongkos kirim ke pemheli) dengan memberikan data-data pembeli (utama, alamat, nomor ponsel) kepada supplier. Barang yang dipesan oleh dropshipperdikirim oleh supplier langsung ke pembeli, dengan nama pengirim tetap atas nama dropshipper, bukan atas nama supplier. Jadi, intinya ada tiga pihak dalam dropshippingdropshipper, supplier, dan pembeli.

Secara umum, model kerja sama antara dropshipper dan supplier/toko ada dua model: Pertamasupplier mem­berikan harga ke dropshipper, lalu dropshipper menjual barang dengan harga yang ditetapkannya sendiri, dengan memasukkan keuntungan dropshipperKedua, harga sejak awal sudah ditetapkan oleh supplier, termasuk besaran fee untuk dropshipper bagi setiap barang yang terjual.

Hukum syariah untuk aktivitas dropshippng di atas menurut kami sbb:

Pertama, dropshiping model pertama, yaitu drop­shipper berlaku sebagai penjual karena menetapkan harga sendiri, hukumnya boleh selama memenuhi segala syarat jual beli salam (bai’ assalam). Jadi disini diterapkan hukum bolehnya jual beli salam (bai’assalam) antara dropshipper dan pembeli. Selama memenuhi syarat-syarat jual beli salam, transaksi sebagai dropshipper adalah sah secara syar’i.

Jual beli salam adalah jual beli pada barang yang belum dimiliki penjual pada saat akad dengan pembayaran uang didepan sedang barang diserahkan belakangan. Dalil bolehnya bai’assalam antara lain riwayat Ibnu Abbas RA bahwa, “Nabi SAW datang ke Madinah sedang mereka (orang orang Madinah) melakukan salaf (jual beli salam) pada buah-buahan untuk jangka waktu satu atau dua tahun.’ (HR Muslim). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakh­shiyyah,21293).

Jika pembeli membayar harga di depan secara keseluruhan kepada dropshipper, jual bellnya sah. Adapun jika harga dibayar belakangan (setelah barang diterima), atau dibayar dengan sebagian harga atau dibayar dengan sistem DP (uang muka), jual belinya tak sah. (Yusuf As Sabatin.A1Buyu’AlQadimoh wa A1Mua’shirah,hlm.48).

Namun perlu diketahui, jenis barang yang boleh dijualbelikan dalam jual beli salam bukanlah semua macam barang, melainkan barang barang tertentu, yaitu barang yang ditimbang (al makill), ditakar (almauzun), dan dihitung (al ma’duud), semisal bahan-bahan pangan, seperti beras, gula, dsb. Adapun barang-barang yang tak ditimbang, ditakar dan dihitung, seperti tanah, rumah, dan mobil, tak boleh dijualbelikan secara jual beli salam (bai’as salam), melainkan dengan jual beli kontan (cash and carry), atau jual beli kredit (bai’ad dain) yaitu barang diserahkan didepan, uang dibayar belakangan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah, 2/293: Yusuf As Sabatin, Al Buyu’ Al Qodimah wal AL Mu’ashirah, hlm.57).

Kedua, dropshiping model kedua, yaitu dropshipper tak berlaku sebagai penjual karena tak menetapkan harga sendiri, hukumnya boleh selama memenuhi segala syarat akad samsarah (perantara jual beli), yang memang di­bolehkan syariah (Yusuf Qaradhawi, Al Halal wal Haram fil Simsar hlm.226). Jadi di sini dropshipper adalah seorang simsar (perantar) antara penjual dengan supliyer/toko. Implikasinya, barang yang dikirim wajib diatas namakan supplier, tidak boleh diatasnamakan dropshipper. Demikian pula dropshipper tak boleh mencari perantara lagi (kadang disebur reseller, karena ini bertentangan dengan hukum samsarah. 

Wallahu ’alam.[]

Jawaban oleh: 
Al-Ustadz KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi Hafizhahullahu ta'alaa
(Dosen STEI Hamfara, Pengasuh Ma'had Taqiyyuddin An-Nabhani Yogyakarta)

Sumber: Tabloid Media Umat I Edisi 102,24 Jumadil Awal – 7 Jumadil Akhir 1434 H/5 – 18 April 2013

0

Hukum Membuat Meme dalam Islam






Tanya :
Ustadz, mohon dijelaskan hukum syariah membuat meme? (Farid Ma’ruf, Bantul)
Jawab :
Meme (dibaca mim bukan dibaca me-me) adalah gabungan gambar dengan teks yang tujuannya untuk mengekspresikan suatu gagasan, perasaan, atau perilaku (tindakan) tertentu. Meme biasanya disebarkan di media massa seperti internet dan media sosial (medsos) seperti WA, Instagram, dsb. Gambar dalam meme tersebut dapat berupa foto orang, gambar di TV, gambar dari film, kartun, dan sebagainya. Teks yang ada dapat berupa pernyataan yang dinisbatkan kepada gambar tokoh yang ada, baik pernyataan itu memang ucapan tokoh itu maupun tidak. Contohnya meme gambar Presiden Soeharto yang sedang melambaikan tangan disertai tulisan,”Piye kabare? Penak jamanku to?” (Bagaimana kabarnya, masih enak jaman saya bukan?). Dapat pula teks yang ada bukan pernyataan dari gambar tokoh yang ada, tetapi sekedar gagasan (pesan) yang terkait dengan gambar. Contohnya meme gambar seorang tokoh yang telah meninggal dunia, lalu diberi teks,”Selamat jalan.”

Inilah sekilas fakta (manath) tentang meme. Bolehkah seorang muslim membuat meme seperti itu? Hukum asalnya adalah boleh (mubah) membuat meme jika meme yang dibuat memenuhi 3 (tiga) syarat sbb: pertama, tujuan pembuatan meme haruslah tujuan yang dibolehkan syariah, misalnya bertujuan untuk mendakwahkan Islam atau mengajarkan hukum syara’. Contonya gambar (foto) seorang anak yang sedang berwudhu disertai teks yang menjelaskan tata cara berwudhu. Atau misalnya foto jamaah haji yang sedang thawaf mengelilingi Ka’bah, lalu disertai teks yang isinya bicara tentang ibadah haji. Adapun jika tujuan pembuatan meme bertentangan dengan hukum syara’, misalnya untuk menghina orang lain, untuk mem-bully seseorang, untuk menipu, untuk menyebarkan pornografi, LGBT, perjudian narkoba, dan sebagainya, maka hukumnya haram. Demikian pula haram hukumnya membuat meme yang bertujuan mempromosikan akad-akad muamalah yang haram, seperti bank, asuransi, pegadaian, dan sebagainya. Haram pula membuat meme yang mempropagandakan ide-ide non-Islam seperti kapitalisme, liberalisme, demokrasi, nasionalisme, komunisme, marxisme, dan sebagainya.

Dalil syarat pertama adalah kaidah fiqih yang menetapkan :
اَلْوَسَائِلُ تَتَبِعُ الْمَقَاصِدَ فِيْ أَحْكَامِهَا
“Al Wasa`il tattabi’u al maqashid fi ahkamihaa”. (Segala jalan/perantaraan itu hukumnya mengikuti hukum tujuan). (Muhammad Shidqi Al Burnu, Mausu’ah Al Qawa’id Al Fiqhiyah, Juz XII, hlm. 99). Kaidah ini menerangkan bahwa hukum untuk wasilah (jalan/perantaraan) itu sama dengan hukum untuk tujuan. Kaidah ini dapat diterapkan untuk pembuatan meme, karena meme sekedar sarana untuk mencapai tujuan, maka hukum meme bergantung pada tujuannya.
Kedua, gambar yang digunakan dalam meme haruslah gambar sesuai dengan syariah. Jadi tidak boleh membuat meme dengan gambar yang tidak sesuai dengan syariah, misalnya foto seorang perempuan yang tidak menutup aurat. Atau gambarnya berupa gambar makhluk bernyawa seperti manusia atau binatang yang dibuat sendiri oleh pembuat meme. Atau gambarnya berupa foto seseorang yang sudah diedit sedemikiran rupa yang mengubah objek dari kondisi aslinya, misalnya menghilangkan jenggotnya atau menghilangkan tahi lalatnya.

Dalil syarat kedua adalah kaidah fiqih yang menetapkan :
اَلْأَصْلُ فْي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَحْرِيْمِ
“Al Ashlu fi al asy-ya` al ibahah maa lam yarid dalil at tahrim.” (Hukum asal benda [materi] adalah boleh selama tidak terdapat dalil yang mengharamkan). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, Juz III hlm. 26). Kaidah ini dapat diterapkan untuk pemanfaatan benda (gambar) yang sudah ada, misalnya yang sudah ada di dunia maya atau yang sudah dimiliki oleh pembuat meme. Maka pemanfaatan gambar dalam pembuatan meme hukum asalnya boleh, karena gambar yang sudah ada dapat digolongkan sebagai al asy-ya (benda/materi) yang hukum asalnya mubah, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkan, misalnya memanfaatkan gambar editan yang mengubah objek aslinya.
Ketiga, teks yang digunakan dalam meme haruslah sesuai dengan syariah. Misalnya teks yang ada memang ucapan dari tokoh yang gambarnya terdapat dalam meme. Jika teks yang ada bukan ucapan tokoh dalam meme tersebut, maka hukumnya haram, karena hal ini termasuk dalam kebohongan (al kadzib) atau penipuan/manipulasi (al ghisy). Padahal setiap kebohongan atau kecurangan/manipulasi haram hukumnya.
Dalil syarat ketiga adalah dalil-dalil umum yang mengharamkan kebohongan dan penipuan/manipulasi. Misalnya sabda Nabi SAW
وَمَنْ غَشَنَا فَلَيْسَ مِنَا
”Wa man ghasysyana falaysa minna” (Barang siapa yang menipu kami, maka dia tidak termasuk golongan kami.” (HR Muslim, no 101).

 Wallahu a’lam.


Jawaban oleh: 
Al-Ustadz KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi Hafizhahullahu ta'alaa
(Dosen STEI Hamfara, Pengasuh Ma'had Taqiyyuddin An-Nabhani Yogyakarta)

0